Serikat Buruh Pada Masa Orde Baru
&
Sejarah dihapusnya PKI dari Keanggotaan PGRI
Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas
Mata
Kuliah
SPJD
Dosen
Fitria Sari Hasanusi, M.Pd
Disusun
oleh Kelompok III
Nama :
1. Achmad
Septian ( 2010
43500 844 )
2. Agus
Riyanto (
2010 43500 831 )
2. Ahmad Samsu
Rizal ( 2010 43500 842
)
3. Buchari ( 2010
43500 879 )
4. Ineu Yuniar ( 2010 43500
796 )
5. Maulana
Sobri ( 2010
43500 811 )
6. Muhammad
Fauzi ( 2010 43500
822 )
7. Dewi Khairunisa ( 2010 43500 813 )
8. Furqon
Ahmad. R (
2010 43500 843 )
PROGRAM
SARJANA
FAKULTAS
TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS
INDRAPRASTA PGRI JAKARTA 2013
Sejarah Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde
Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973,
1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September
1966
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan
PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi
anggota PBB kembali pada tanggal 28 September
1966, tepat 16
tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik
garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis
Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat
"dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan
dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen
penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong
Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap
tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep
pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966
dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.[rujukan?] Soeharto merestrukturisasi politik
dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu
sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan
lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi
sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam
secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak
merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru Perkembangan GDP per
kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
- Sukses transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
- Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
- Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
- Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
- Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
- Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
- Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
- Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
- Dan Lain Sebagainja
Krisis finansial Asia
Pada
pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk
lebih jelas lihat: Krisis finansial
Asia), disertai kemarau terburuk
dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang
semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas,
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga
bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian
memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie,
untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan
slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang
dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar
Jawa, terutama ke Kalimantan,
Sulawesi,
Timor Timur, dan Irian
Jaya. Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik
Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para
transmigran.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya
pada tahun 1998
dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan
"Era Reformasi".[rujukan?] Masih adanya tokoh-tokoh penting
pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era
Pasca Orde Baru".
Meski
diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur,
transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancer
dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet
dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang
berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi
perubahan zaman.
Sejarah Kelahiran PGRI pada zaman kemerdekaan
·
Sejarah Kelahiran PGRI pada zaman
kemerdekaan
Sebelum
pecah perang dunia kedua ketika Indonesia berada dalam kekuasaaan Pemerintah
Kolonial Belanda berbagai macam organisasi guru berdiri. Kehidupan organisasi
guru tersebut diwarnai dengan berbagai macam pengaruh dari luar, baik yang
bersifat kebijaksanaan pemerintahan kolonial maupun kondisi masyarakat waktu
itu Oraganisasi guru yang lahir waktu itu diwarnai, antara lain oleh hal-hal
berikut :
- Kesadaran korps dengan segala aspek-aspeknya.
- Kebangkitan Nasional yang menggandrungi kemerdekaan bangsa yang disadari keharusan adanya persatuan bangsa akan tetapi belum dapat menemukan bentuk wadahnya yang cocok.
- Politik devide et impera oleh pemerintah kolonial.
Kesadaran nasional, kesadaran kan
persatuan dan kesadarankorps profesi guru sudah lahir pada guru sebelum perang.
Anggota Budi Oetomo waktu itu kebanyakan dan lahir dari lingkungan guru-guru.
Logis memang hal ini tidak lepas karena di negara terbelakang dan atau jajahan
manapun di masa lalu warga masyarakat umum yang dianggap terdidik adalah
orang-orang terdidik atau bersekolah sesuai dengan keperluan untuk dijadikan
aparat pemerintahan kolonial dan yang keduanya adalah guru-guru. Rakyat umum
cukup hanya bias baca tulis saja.
Pada
tahun 1912 berdirilah suatu organisaasi guru yang besifat uni, yaitu
PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) yang keanggotaannya meliputi guru-guru
tanpa memandang ijazah, status, tempat kerja, keyakinan agama, dan lain-lain.
Salah satu kegiatan PGHB yang menonjol di bidang sosial adalah didirikannya
perseroan asuransi “Bumi Putra” langsung di bawah pimpinan PGHB. Ketua Pengurus
Besar PGHB pertama dan pendiri perseroan asuransi “Bumi Putra” tersebut adalah
Sdr. Karta Hadi Soebroto. Perseroan tersebut akhirnya berdiri sendiri lepas
dari kaitan gerakan kaum guru.
Sungguh
menyedihkan bahwa dari kelahiran persatuan yang bulat itu akhirnya harus
mengalami masa perpecahan dalam bentuk organisasi-organisasi yang berdasarkan
ijazah, lapangan kerja, dan lain-lain.
Mulai
tahun 1919-an lahir berbagai organisasi guru, yaitu :
1. PGB (Persatuan Guru Bantu)
2. PNB (Perserikatan Normal
School)
3. KSB (Kweek School Band)
4. SOB (School Opziener
Bond)
5. PGD (Persatuan Guru Desa)
6. VOB (Vaks Onderwijzer
Bond)
7. PGAS (Persatuan Guru Ambacht
School)
8. HKSB (Hoogere Kweek
School Bond)
9. NIOG (Netherlands
Indische Onderwijzer Genootschap)
10. OVO (Onderwijzer Vaks Organisative/lulusan
HIK)
11. COV (Christelijke Onderwijzer Vereeniging)
12. KOB (Katholieke Onderwijzer Bond)
13. COB (Chinese Onderwijzer Bond)
14. Vereeniging van leeraen voor het
Middelbaaronderwijs, dan sebagainya.
Usaha-usaha
untuk mengatasi keadaan organisasi yang sudah berkelompok-kelompok ini dalam
bentuk federasi, termasuk mengaktifakn terus PGHB yang pada tahun 1932 diganti
PGI (Persatuan Guru Indonesia) ternyata tidk berhasil menolong keadaan secara
efektif.
Pada
zaman pendudukan Jepang di Indonesia, praktis tidak ada satupun organisasi
masyarakat yang tampil kecuali organissasi bentukan Jepang. Di Jakarta, antara
lain ada satu bentuk perserikatan guru dengannama “Guru” dipimpib oleh Sdr.
Amin Singgih didampingi oleh beberapa orang Kepala Sekolah yaitu
Saudara-saudara Adam Bachtiar, Soebroto, Ny. Woworuntu, Dan lain-lain tapi
tidak terbentuk organisasi yang jelas.
Guru-guru
dan tokoh-tokoh aktivis organisasi di lingkungan kegururan lebih banyak
mengambil kesempatan bergerak sebagai pemimpin organisasi PETA, Keibodan,
Seinendan, Fujinkai, (bagi guru wanita) dan sebagainya yang kesemuanya itu
akhirnya berhikmah menjadi sarana mempercepat proses pertumbuhan kesadaran
nasional, pembentukan rasa kesatuan bangsa dan rasa lebuh gandrung akan Kemerdekaan
Tanah Air dan Bangsa secepat-cepatnya.
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, oleh Bung Karno dan
Bung Hatrta atas nama Bangsa Indonesia merombak perikehidupan masyarakat bangsa
dalam berbagai bidang kehidupan. Selanjtnya, hidup sebagai bangsa yang dijajah
menjadi negara yang merdeka, berdiri sendiri, bertanggung jawab mengurus rumah
tangganya sendiri di antara kehidupan bangsa.
Negara
Republik Indonesia sudah merdeka yang diproklamsikan oleh Nung Karno dan Bung
Hatta mewakili bangsa Indonesia merombak perikehidupan bangsa Indonesia .
Bangsa kita hidup dari penjajahan kolonial Belanda, sekarang menjadi bangsa
yang merdeka, berdiri sendiri bertanggung jawab dan berumah tangga sendiri.
Setelah
pengumuman kemerdekaan RI masih ada tantangan dari penjajah Jepang dan kolonial
Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Melalui pertempuran di Surabaya
dengan sekutu, NICA_Belanda ingin membonceng tentara sekutu Inggris. Perang
kemerdekaan RI, kegiatan yang bersifat nasional, regional, ataupun lokal,
tetapi tujuannya tetap satu demi tegaknya kemerdekaan Negara Republik
Indonesia.
Di
saat memuncak Gelora Revolusi, maka pada tanggal 23 November sampai dengan 25
November 1945 dibukalah Kongres PGRI pertama di Surakarta. Tempat pembukaannya
adalah di Gedung Sana Harsana (Pasar Pon) dan tempat kongresnya di Gedung Van
Deventer School, sekarang ditempati SMP Negeri 3 Surakarta. Pada waktu kongres
mendapat sambutan miltraliyur Belanda dari kapal udara yang mengadakan operasi
militernya dengan sasaran gedung RRI Surakarta. Organisasi PGRI yang baru lahir
itu bersifat : 1) unitaristis, 2) independen, 3)non partai politik serta
keanggotaannya tanpa pandang perbedaan ijasah, status, tempat kerja, jenis
kelamin, dan keyakinan agama dan lain sebagainya.
Kehadiran
PGRI sebagi wadah dan sarana PGRI yang sedang berevolusi Kemerdekaan, merupakan
manifestasi akan keinsyafan dan rasa tangggung jawab kaum guru Indonesia dalam
memenuhi kewajiban akan pengabdiannya serta partisispasinya kepada perjuangan menegakkan
untuk mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Guru-guru
sadar kan tugasnya, bahwa pendidikan adalah sarana utama dalam pembangunan
bangsa dan negara, mereka melaksanakan dwifunsi dalam baktinya yaitu : di garis
belakang mendidik dan mengajar di sekolah-sekolah biasa, sekolah peralihan,
sekolah pengungsian. Disampingnya kerja sama dengan para bapak/ibu mendirikan
dapur umum dan mempersiapkan makanan tahan lama untuk para pejuang di garis
depan. Kecuali itu mereka menjadi pemimpin /komandan barisan tentara : BKR,
TKR, TRI/TNI, BARA, API, BBRI, Hizbullah, Sabilillah, Laskar Rakyat, LASWI,
KRIS, PMIU dan para pejuang lainnya.
Jika
kita meneliti dalam mukadimah AD/ART PGRI dan meneliti kehidupannya organisasi,
sejak kelahirannya sampai sekarang dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. PGRI lahir karena
hikamah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17Agustus 1945, merupakan
manifestasi aspirasi kaum guru Indonesia, untuk mengambil bagian dan
bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesinya sebagai pendidik bangsa demi
tercapainya cita-cita kemerdekan.
b. PGRI mempunyai commited
kepada NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
c. PGRI berbatang tubuh
suatu organisasi berlandaskan proklamasi. Suatu organisasi pemersatu kaum guru
bersifat : 1) unitaristis, 2) independen, 3) non partai politik. Juga merupakan
sarana, wahana, usaha kepentingan kaum guru, bagi pengembangan profesinya,
pendidikan pada umumnya serta pengembanagan kepada tanah air dan bangsa.
d. PGRI adalah suatu
organisasi profesi guru yang lahir dan mewariskan jiwa, semanagat, dan
nilai-nilai 1945 secara teru-menerus kepada setiap generasi bangsa Indonesia.
Susunan pengurus Besar PGRI hasil Kongres I 25 November 1945
PGRI
merupoakan usul persembahan dari rekan-rekan yang tergabung dalam organisasi
Persatuan Guru Seluruh Priangan (PGSP), delegasinya Sdr. A. Zahri (almarhum
sekjen PB-PGRI). Susunan PB PGRI hasil Kongres I ialah
1. Ketua I : Amin Singgih
2. Ketua II : Rh. KOesnan
3. Ketua III : Soemitro
4. Penulis I : Djajeng
Soegianto
5. Penulis II : Ali Marsaban
6. Bendahara I : Soemidi
Adisasmito
7. Bendahara II : Marto
Soedigdo
8. Anggota : Siti Wahyunah
9. Anggota : Siswo Widjojo
10. Anggota : Parmoedjo
11. Anggota : Siswowardjojo
Beberapa bulan kemudian terjadilah
pengunduran diri ketua I, karena ia diangkat menjadi Bupati Pamongpraja
Mangkunegaraan Surakarta sehingga terpaksa diadakan susunan Pengurus Besar
PGRI, formasinya :
1. Ketua I : : Rh. Koesnan
2. Penulis I : Sastrosoemarto
3. Penulis II : Kadjat
Martosoebroto
4. Bendahara I : Soemidi
Adisasmito
5. Bendahara II : Marto
Soedigdo
6. Anggota : Djajeng Soegianto
7. Anggota : Siswo Widjojo
8. Anggota : BAroja
9. Anggota : Siswowardjojo
10. Anggota : Ny. Noerhalmi
11. Anggota : Soespandi Atmowirogo
(PGRI Dari Masa Ke Masa 1989 : 42-44)
·
Perjuangan Organisasi PGRI
i.
Partsipasi PGRI dalam Perjuangan
Mempertahankan Kemerdekaan
ii.
Peranserta PGRI dalam Mewujudkan
Pendidikan Nasional
PGRI
Pelopor dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Sebagai
organisasi yang cita-cita perjuangannya sejajar dengan cita-cita bangsa
Indonesia maka tantangan dan hambatan PGRI seirama dengan arus perjuangan
bangsa Indonesia saat ini. Setelah Kongres 1 PGRI mulai menyusun dan
mengembangkan organisasinya ke seluruh pelosok tanah air.
Adapun tuntutan kongres terhadap pemerintah antara lain :
1.
Sistem
pendidikan agar dilakukan atas dasar kepentingan Nasional.
2.
Gaji guru tidak
terbatas satu kolom.
3.
Diadakannya Undang-Undang
Pokok Pendidikan dan Undang-Undang Pokok Perburuhan.
Keputusan Kongres PGRI II adalah wujud dari tanggung
jawab nasional PGRI dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan kolonial ke arah
sistem pendidikan nadional.
Kongres III menegaskan garis perjuangan PGRI yang secara
jelas dcantumkan dalam asas dan tujuan PGRI serta menjadi identitasnya . Garis
perjuangan tersebut merupakan haluan bagi PGRI dan menjadi pedoman bagi
organisai serta anggotanya dalam mewujudkan cita-cita. Sikap dan pola pikir ,
jiwa, dan semangat bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut, memperjuangkan,
dan mengisi kemerdekaan melalui berbagai forum organisasi PGRI dirumuskan
kemudian diputuska menjadi ”Jati Diri PGRI”.
Jati Diri PGRI menjadi identitas dan kepribadian
organisasi PGRI diwujudkan dalam sikap perilaku anggotanya antara lain :
1. Sikap nasionalisme
2. Persatuan dan Kesatuan
3. Demokrasi
4. Kekeluargaan
5. Disiplin
6. Tak kenal menyerah
Nama PGRI mulai dikenal di luar negeri terbukti hubungan NEA
(National Education Accociation) mengundang PGRI untuk meninjau
pendidikan di USA selama 8 bulan. WCOTP mengundang PGRI untuk mengikuti
Kongres WCOTP di London ( juni 1948 ).
PGRI sebagai Pelopor Mengubah Sistem
Pendidikan Kolonial menjadi Sistem Pendidikan Nasional
Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai
dengan Oktober 1946 Kementrian Pengajaran tidak bernahkoda. Perjuangan PGRI
menjadikan berlakunya Pendidikan Nasional terus berlangsung.Melalui pemikiran
tokoh-tokoh PGRI dalam pertemuan dengan pemerintah antara lain : H.Basyuni
Suryamiharja, Drs.Gazali Dunia, Prof.Dr.Winarno Surahmat, Dra. Mien,Warmaen, Ki
Suratman, Dr.Anwar Yasin.M.Ed.
Dalam Kongres PGRI XIV,lahirlah Keputusan Nomor
001/KPTS/XIV/1978 tentang usaha meningkatkan satu sistem pendidikan nasional
yang mantap dan terpadu.
Akhirnya melalui perjuangan panjang pada tahun 1989
Pemerintah dengan persetujuan DPR RI menetapkan Undang-Undang Ri Nomor 2 tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mulai diundangkan pada tanggal 27
Maret 1989.
Perjuangan
PGRI dalam Mempersatukan Guru Republik Indonesia
PGRI PADA
MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
- Lahirnya
PGRI Non-Vaksentral/PKI
Periode
tahun 1962-1965 terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat
dibandingkan dari periode-periode sebelumnya. Pada bulan-bulan pertama PGRI
mengalami kesulitan besar terutama karena kekurangan dana. Meskipun demikian,
kegiatan PGRI tetap berjalan dalam upaya memperjuangkan nasib para guru.
Masalah dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN ke dalam SOKSI yang diputuskan
dengan 12 suara pro lawan 2 suara kontra pada hakekatnya tidak mengubah
kekompakan dilingkungan PB PGRI.
Suasana
tegang benar-benar terasa setelah PB PGRI ikut serta dalam Musyawarah Penegasan
Pancasila sebgai Dasar Pendidikan Nasional. Setelah PGRI ikut serta
dalamMusyawarah Penegasan Pancasila tersebut, Moejono dan Ichwani mengajukan
nota pengunduran diri.
Kemudian
kelompok soebandri-Moejono-Ichwani menyelenggarakan rapat, karena bila
terlambat mereka tidak bisa lagi mempergunakan dalih Non-Vaksentral sebagai
sejata propaganda mereka. Selain melalui PGRI penyusupan mereka dilakukan pula
terhadap aparatur pendidikan, terutama di lingkungan departemen P & K.
2. Pemecatan Massal Pejabat Departemen PP & K
(1964)
Sistem
pendidikan Pancawardhana (pidato inaugurasi Dr. Busono Wiwoho) dilandasi dengan
prinsip-prinsip: perkembangan cinta bangsa dan tanah air, perkembangan
kecerdasan, perkembangan emosional-artistik, perkembangan keprigelan/kerajinan
tangan, dan perkembangan jasmani.
Isi
pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik.
Keputusan Presiden tanggal 4 agustus 1964 yang diambil atas usul Menteri P
& K tentang Reorganisasi Departemen P & K yang mengubah jumlah Pembantu
Menteri P & K dari 3 menjadi 2 orang. Maka sebanyak 28 pegawai tinggi
Departemen P & K mengirim surat kepada Menteri Prijono dengan maksud untuk
menjernihkan kebali suasana P & K. Surat itu ditanggapi dengan
memberhentikan ke-27 pejabat tersebut dengan alasan “atas dasar permintaan
sendiri”. Berbagai ormas dan beberapa wakil dari Dinas P & K memprotes
keras pemberhentian tersebut.
3. PGRI Pasca Peristiwa G30S/PKI
Bagi
PGRI, periode tahun 1966-1972 merupakan masa perjuangan untuk turut menegakkan
Orde Baru, masa konsolidasi dan penataan kembali organisasi serta masa
meneruskan dan menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola
pembangunan nasional yang baru. Kegiatan dan perjuangan PGRI dalam bidang
pendidikan semenjak Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung mulai dibina
kembali. Identitas PGRI sendiri bersifat unitaristik, independen, dan
non-partai politik. Mengenai kedudukan PGRI sendiri sejak Kongres VII
ditegaskan bahwa PGRI adalah organisasi non-vaksentral
Perjalanan
PGRI dipengaruhi oleh berbagai kepentingan golongan politik dari luar. Dalam
setiap kongres, terutama saat pemilihan pimpinan PB PGRI, banyak partai politik
ikut campur. Hal ini memang tidak dapat dihindarkan dan sangat menyulitkan
kedudukan PGRI.
4. Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI
Setelah
PKI yang diwakili oleh guru-guru berorientasi ideologi komunis tak mampu lagi
mealkukan taktik – taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat
dengan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan diri dari PGRI. Mereka
kemudian menyebut dirinya PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV).
Pergolakan
hebat yang ditimbulkan oleh munculnya PGRI NV terasa benar didaerah. Untuk
menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan dikalangan guru,
Presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk Majelis Pendidikan Nasional
yang menerbitkan Penpres (Penetapan Presiden) No. 19 tahun 1965 tentang Pokok –
pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila sebagai hasil kerja dari Panitia
Negara untuk Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana. Tetapi bagi PGRI penpres
tersebut tidak berhasil mempersatukan kembali organisasi ini.
- PGRI SEJAK LAHIRNYA ORDE BARU
Peristiwa
G30S/PKI merupakan puncak dari apa yang sebelumnya berlangsung ditubuh PGRI.
Pada tanggal 2 Februari 1966 para guru membentuk KAGI (Kesatuan Aksi Guru
Indonesia). Bagi PGRI-Kongres, KAGI merupakan wahana untuk menyatukan semua
organisasi guru yang tadinya terkotak-kotak sebagai produk politik Orde Lama.
Tugas
utama KAGI adalah membersihkan dunia pendidikan dari unsure-unsur PKI dan orde
lama, menyatukan semua guru dalam satu wadah organisasi guru yaitu PGRI,
memperjuangkan agar PGRI tidak hanya bersifat unitaristik tetapi juga
independen dan non-partai politik.
Bukti
keberhasilan Orde Baru dalam kongres ini terlihat dari hasil-hasil kongres
idbidang umum/politik dan susuna PB PGRI Masa Bakti XI.
5. Konsolidasi Organisasi pada Awal Orde Baru
Konsolidasi
organisasi PGRI dilakukan ke daerah-daerah dan cabang-cabang.
Kunjungan-kunjungan PB PGRI secara intensif ke Jawa Tengah dan Jawa TImur
mutlak diperlukan. Pembetukan KAGI di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara lain
untuk menyelamatkan PGRI dari kemelut politik diwaktu itu.
Hubungan
antara PGRI dengan organisasi guru diluar negeri mulai dirintis kembali.
6. Arti Lambang PGRI
Kongres
XIII PGRI tahun 1973 menetapkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang
organisasi, yaitu berubahnya sifat PGRI dari organisasi serikat pekerja menjadi
organisasi profesi guru; ditetapkannya kode etik guru di Indonesia; perubahan lambag
dan panji organisasi PGRI yang sesuai dengan organisasi profesi guru; dan
adanya Dewan Pembina PGRI.
Arti
keseluruhan daripada lambang PGRI adalah: Guru Indonesia dengan itikad dan
kesadaran pengabdian yang murni dengan segala keberanian, keluhuran jiwa dan
kasih sayang senantiasa menunaikan darma baktinya kepada Negara, tanah air dan
bangsa Indonesia dalam mendidik budi pekerti, cipta, rasa, karsa dan karya
generasi bangsa menjadi manusia Pancasila yang memiliki moral, pengetahuan,
ketrampilan dan akhlak yang tinggi.
7. Berdirinya YPLP-PGRI dan Wisma Guru
Kongres
XIV PGRI tanggal 26-30 Juni 1979 di Jakarta menghasilkan salah satu keputusan
penting yaitu mengenai pendirian Wisma Guru. Dan dalam kongres tersebut juga
diputuskan dan ditegaskan bahwa pembinaan lembaga pendidikan PGRI perlu
dilakukan secara konsepsional, nasional dan terkendali secara organisatoris.
Untuk
melaksanakan keputusan kongres, PB PGRI membentuk YPLP-PGRI dengan notaris Akta
Moh. Ali No. 21 tanggal 31 Maret 1980 yang berlaku surut sejak tanggal 1
Januari 1980. Pada tahap awal pelaksanaan tugasnya, YPLP-PGRI megadakan
inventarisasi terhadap lembaga pendidikan PGRI.
REFLEKSI TENTANG MASA DEPAN PGRI
Banyak
kemungkinan arah PGRI 30 tahun mendatang, salah satu kemungkinannya adalah
dengan menggunakan beberapa kategori pendekatan.
- Kategori
fundamental, yaitu sebagai organisasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD
1945 dan GBHNnya.
- Kategori
teknis. Salah satu diantaranya adalah dengan mengembangkan dan mendorong
proses-proses perubahan yang sistematis dalam tubuh PGRI
- Kategori
terapan.
Berdasarkan
pengamatan bertahun-tahun, tampak jelas bahwa PGRI seperti halnya organisasi
yang lainnya mempunyai pengalaman yang penting dalam rangka menyukseskan
strategi yang bersifat kuantitatif. Dalam rangka melaksanakan strategi
kualitatif, PGRI perlu mengadakan investasi secara bekelanjutan. Ini juga
berarti kode etik guru Indonesia tidak hanya diucapkan, tetapi juga berkembang
dalam sikap, pola tindakan dan prestasi para anggota PGRI yang makin professional.
Serikat
Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia
SECARA
legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai
dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang
pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal
yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja SeluruhIndonesia).
Dirintis sejak pemerintahan
B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO
no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan
Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara
diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui
Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4
Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan,
pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan,
pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh.
Sejak saat itu, diawali dengan
pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat
buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru
tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di
berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3
konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia,
KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari
ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang
menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi
kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang,
serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga.
Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah
populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota
serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar
sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan
kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans
untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan
16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang
lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke
tahun
Serikat Buruh Sebagai Pilar
Demokrasi
Kehadiran UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, meski masih ada kelemahan, patut kita berikan apresiasi.
Paling tidak, UU ini menjamin secara hukum untuk bisa mendirikan serikat buruh
baru di samping yang sudah ada. Dengan kata lain, UU No 21/2000 mengakhiri
monopoli serikat buruh yang berlangsung sejak orde baru (Orba) berkuasa.
Sejarah
Bangsa ini memiliki sejarah panjang mengenai keberadaan
dan perjuangan serikat buruh. Bahkan jauh sebelum kita merdeka tahun 1945.
Serikat buruh berkembang seiring maraknya pembukaan perkebunan di Nusantara.
Terutama sejak kebijakan tanam paksa diberlakukan (1830-1870). Awalnya,
pembentukan serikat buruh didasari bentuk ketidakpuasan buruh terhadap sistem
kerja yang diberlakukan ketika itu. Wujudnya adalah melakukan demonstrasi.
Karena tidak diorganisir dengan baik, bersifat sporadis, aksi buruh saat itu
lebih banyak mengalami kekalahan.
Lalu, serikat buruh mulai dirintis. Serikat buruh di
awal abad ke-20 yang cukup menonjol peranannya adalah Vereeniging von Spoor en
Tramweg/VSTP tahun 1908 dan Personeel Fabriek Bond/PFB (1917). Meski VSTP
dilahirkan oleh orang kulit putih (Eropa), anggota mereka justru didominasi
oleh kaum pribumi. Bahkan salah seorang pimpinannya, Semaun, menjadi salah satu
tokoh penting nasional ketika Indonesia merdeka nantinya. Tercatat, sampai
tahun 1923, ada 13.000 orang yang terdaftar sebagai anggota VSTP (Edy Cahyono: Gerakan
Serikat Buruh dari Masa ke Masa: Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru)
Periode 1950-1960 merupakan masa emas gerakan serikat
buruh di Indonesia. Sedikitnya, ada dua serikat buruh yang berpengaruh di masa
itu. Pertama, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang
berdiri tahun 1946. Organisasi ini merupakan serikat buruh terkuat di zamannya
dengan jumlah anggota 2,5 juta orang. Kedua, Sarekat Buruh Perkebunan
Republik Indonesia (SARBUPRI), berdiri tahun 1947. Kedua serikat buruh ini
menjadi kekuatan politik nasional selain partai politik (parpol) seperti Partai
Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Masyumi.
Soeharto pun berkuasa. Ia segera melakukan konsolidasi
politik dan ekonomi. Dengan tangan besi ia menyingkirkan lawan-lawan
politiknya. Termasuk SOBSI dan SARBUPRI. Dan sebagai gantinya, di tahun 1973,
dibentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang diketuai Agus Sudono.
Dan berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), di tahun 1985.
Sejak ini-lah gerakan serikat buruh menjadi mandul. SPSI tidak berfungsi sebagai serikat buruh yang sesungguhnya karena ia justru digunakan untuk
meredam perlawanan buruh.
Kebangkitan
Meskipun tindakan represif Orba cukup ampuh meredam
buruh, bukan berarti tidak ada usaha perlawanan buruh sekecil apapun. Di
periode 1990-an, dengan aksi beraninya, segelintir aktivis buruh mendirikan
serikat buruh selain SPSI. Maka muncul-lah Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI), Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBMSK), dan Pusat Perjuangan Buruh
Indonesia/PPBI (Edy Cahyono: Idem). Dan kini, sejak UU No 21/2000
disahkan, berdasarkan data Depnakertrans 2009, ada 91 federasi serikat buruh
dengan jumlah anggota 3.338.597 orang. Serta tiga konfederasi serikat buruh:
KSPSI, KSPI, dan KSBSI.
Tapi, meningkatnya kuantitas serikat buruh belum sejalan
dengan kualitas perjuangan mereka. Kebanyakan serikat buruh saat ini berdiri
bukan karena latar belakang ideologi. Perbedaan kepentingan dan asas manfaat
lebih banyak menghinggapi serikat buruh. Polarisasi ini mengakibatkan belum ada
hasil perjuangan signifikan serikat buruh. Penolakan besar-besaran memang
terjadi saat pemerintah mengesahkan UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, tapi hasilnya belum mengubah secara keseluruhan undang-undang
tersebut. Hanya pasal 158 saja yang bisa “dilumpuhkan” melalui keputusan MK
Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 24 Oktober 2004.
Gerakan serikat buruh masih parsial. Padahal, serikat
buruh harusnya berjuang secara holistik. Artinya, ia tidak hanya berjuang
sebatas memenuhi hak-hak normatif saja. Tapi harus menjadi kekuatan politik
yang dapat memengaruhi kebijakan politik, terkhususnya yang berkaitan langsung
dengan sistem ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ada beberapa hal, yang mungkin,
dapat diperhatikan untuk menuju serikat buruh yang ideal.
Pertama, kaderisasi. Tak bisa dipungkiri, kekuatan SOBSI dan SARBUPRI adalah
karena berjalannya sistem kaderisasi dengan baik. Pola perekrutan dilakukan
secara intensif. Lalu mereka dipecah dengan sistem sel. Penguatan kapasitias
pun dilakukan dengan melakukan diskusi.
Kedua, penguatan jaringan. Ketika kondisi internal sudah
kokoh, langkah selanjutnya adalah pelebaran jaringan. Serikat buruh tidak bisa
berjuang sendiri tanpa melakukan konsolidasi dengan kekuatan politik lainnya.
Jaringan dibangun tidak sebatas pada serikat buruh yang lain, tapi juga melebar
kepada parpol, pers, NGO dan jaringan internasional. Tujuan berjejaring adalah
untuk memperluas ide dan nilai-nilai serikat buruh. Selain itu juga untuk
menghasilkan satu kekuatan politik (aliansi) yang kokoh.
Ketiga, melakukan
aksi. Ketika instrumen internal dan eksternal organisasi sudah mumpuni, maka
serikat buruh harus melakukan aksinya. Aksi di sini tidak hanya diartikan
berupa demonstrasi turun ke jalan (turjal). Ia bisa dimaknai secara luas.
Selain demonstrasi, melakukan kampanye dan aksi tulisan juga bagian penting
yang tidak bisa dilepaskan serikat buruh. Kampanye bisa memuat gambaran kondisi
perburuhan yang sedang berlangsung. Sedangkan aksi menulis adalah cara lain
untuk mengekspresikan kegelisahan serikat buruh. Dengan tulisan, maka banyak
pihak di luar serikat buruh yang menjadi tahu keadaan buruh. Media tulisan berupa
opini di media massa, buku/tabloid, spanduk, poster. Terkadang, menuangkan ide
dalam bentuk tulisan bisa lebih ampuh. Seorang Pramoedya Ananta Toer ditakuti
Orba karena tulisan Tetraloginya dianggap dapat memobilisasi kebangkitan
komunis.
Perjuangan serikat buruh masih panjang. Harus kita akui,
serikat buruh masih kalah satu-dua langkah dari kekuatan kapital. Jangankan
menjadi salah satu kekuatan politik, sekedar memenuhi hak-hak normatif saja,
masih terasa sulit dilakukan. Tapi, ini bisa berubah kalau serikat buruh tidak
lagi terjebak pada ego-sentrisme.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono. 2002. Menebus
Pendidikan yang Tergadai. Yogyakarta: Kanisus
Musaheri. 2009. Ke-PGRI-an.
Sumenep: DIVA Press
Muyasa. 2006. Managemen
Berbasis Sekolah. Bandung: PT RemajaRosdakarya
Suryasubroto. 1997. Proses
Belajat Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar