Jumat, 27 September 2013

Makalah Serikat Buruh Pada Masa ORBA




Serikat Buruh Pada Masa Orde Baru
&
Sejarah dihapusnya PKI dari Keanggotaan PGRI

Makalah  ini dibuat untuk melengkapi tugas

Mata Kuliah
SPJD

Dosen
Fitria Sari Hasanusi, M.Pd

Disusun oleh Kelompok III

           Nama :
1. Achmad Septian                            ( 2010 43500 844 )      
2. Agus Riyanto                                ( 2010 43500 831 )     
2. Ahmad Samsu Rizal                      ( 2010 43500 842 )
3. Buchari                                          ( 2010 43500 879 )
4. Ineu Yuniar                                    ( 2010 43500 796 )
5. Maulana Sobri                               ( 2010 43500 811 )
6. Muhammad Fauzi                          ( 2010 43500 822 )
7. Dewi Khairunisa                            ( 2010 43500 813 )
8. Furqon Ahmad. R                          ( 2010 43500 843 )


PROGRAM SARJANA
FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA 2013






Sejarah Orde Baru
            Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
            Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
            Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
            Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
            Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
            Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
            Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
            Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.[rujukan?] Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
            Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565
  • Sukses transmigrasi
  • Sukses KB
  • Sukses memerangi buta huruf
  • Sukses swasembada pangan
  • Pengangguran minimum
  • Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
  • Sukses Gerakan Wajib Belajar
  • Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • Sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

  1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
  3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
  5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
  6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
  7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
  9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"
  10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
  11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
  12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
  13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh swasta
  14. Dan Lain Sebagainja
Krisis finansial Asia
            Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
            Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
            Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Pasca-Orde Baru
            Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[rujukan?] Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
            Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancer dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.

Sejarah Kelahiran PGRI pada zaman kemerdekaan
        ·            Sejarah Kelahiran PGRI pada zaman kemerdekaan
Sebelum pecah perang dunia kedua ketika Indonesia berada dalam kekuasaaan Pemerintah Kolonial Belanda berbagai macam organisasi guru berdiri. Kehidupan organisasi guru tersebut diwarnai dengan berbagai macam pengaruh dari luar, baik yang bersifat kebijaksanaan pemerintahan kolonial maupun kondisi masyarakat waktu itu Oraganisasi guru yang lahir waktu itu diwarnai, antara lain oleh hal-hal berikut :
  •  Kesadaran korps dengan segala aspek-aspeknya.
  • Kebangkitan Nasional yang menggandrungi kemerdekaan bangsa yang disadari keharusan                   adanya persatuan bangsa akan tetapi belum dapat menemukan bentuk wadahnya yang cocok.
  •  Politik devide et impera oleh pemerintah kolonial.

            Kesadaran nasional, kesadaran kan persatuan dan kesadarankorps profesi guru sudah lahir pada guru sebelum perang. Anggota Budi Oetomo waktu itu kebanyakan dan lahir dari lingkungan guru-guru. Logis memang hal ini tidak lepas karena di negara terbelakang dan atau jajahan manapun di masa lalu warga masyarakat umum yang dianggap terdidik adalah orang-orang terdidik atau bersekolah sesuai dengan keperluan untuk dijadikan aparat pemerintahan kolonial dan yang keduanya adalah guru-guru. Rakyat umum cukup hanya bias baca tulis saja.
Pada tahun 1912 berdirilah suatu organisaasi guru yang besifat uni, yaitu PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) yang keanggotaannya meliputi guru-guru tanpa memandang ijazah, status, tempat kerja, keyakinan agama, dan lain-lain. Salah satu kegiatan PGHB yang menonjol di bidang sosial adalah didirikannya perseroan asuransi “Bumi Putra” langsung di bawah pimpinan PGHB. Ketua Pengurus Besar PGHB pertama dan pendiri perseroan asuransi “Bumi Putra” tersebut adalah Sdr. Karta Hadi Soebroto. Perseroan tersebut akhirnya berdiri sendiri lepas dari kaitan gerakan kaum guru.
Sungguh menyedihkan bahwa dari kelahiran persatuan yang bulat itu akhirnya harus mengalami masa perpecahan dalam bentuk organisasi-organisasi yang berdasarkan ijazah, lapangan kerja, dan lain-lain.
Mulai tahun 1919-an lahir berbagai organisasi guru, yaitu :
1.      PGB (Persatuan Guru Bantu)
2.      PNB (Perserikatan Normal School)
3.      KSB (Kweek School Band)
4.      SOB (School Opziener Bond)
5.      PGD (Persatuan Guru Desa)
6.      VOB (Vaks Onderwijzer Bond)
7.      PGAS (Persatuan Guru Ambacht School)
8.      HKSB (Hoogere Kweek School Bond)
9.      NIOG (Netherlands Indische Onderwijzer Genootschap)
10.  OVO (Onderwijzer Vaks Organisative/lulusan HIK)
11.  COV (Christelijke Onderwijzer Vereeniging)
 12.  KOB (Katholieke Onderwijzer Bond)
13.  COB (Chinese Onderwijzer Bond)
14.  Vereeniging van leeraen voor het Middelbaaronderwijs, dan sebagainya.
Usaha-usaha untuk mengatasi keadaan organisasi yang sudah berkelompok-kelompok ini dalam bentuk federasi, termasuk mengaktifakn terus PGHB yang pada tahun 1932 diganti PGI (Persatuan Guru Indonesia) ternyata tidk berhasil menolong keadaan secara efektif.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, praktis tidak ada satupun organisasi masyarakat yang tampil kecuali organissasi bentukan Jepang. Di Jakarta, antara lain ada satu bentuk perserikatan guru dengannama “Guru” dipimpib oleh Sdr. Amin Singgih didampingi oleh beberapa orang Kepala Sekolah yaitu Saudara-saudara Adam Bachtiar, Soebroto, Ny. Woworuntu, Dan lain-lain tapi tidak terbentuk organisasi yang jelas.
Guru-guru dan tokoh-tokoh aktivis organisasi di lingkungan kegururan lebih banyak mengambil kesempatan bergerak sebagai pemimpin organisasi PETA, Keibodan, Seinendan, Fujinkai, (bagi guru wanita) dan sebagainya yang kesemuanya itu akhirnya berhikmah menjadi sarana mempercepat proses pertumbuhan kesadaran nasional, pembentukan rasa kesatuan bangsa dan rasa lebuh gandrung akan Kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa secepat-cepatnya.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, oleh Bung Karno dan Bung Hatrta atas nama Bangsa Indonesia merombak perikehidupan masyarakat bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. Selanjtnya, hidup sebagai bangsa yang dijajah menjadi negara yang merdeka, berdiri sendiri, bertanggung jawab mengurus rumah tangganya sendiri di antara kehidupan bangsa.
Negara Republik Indonesia sudah merdeka yang diproklamsikan oleh Nung Karno dan Bung Hatta mewakili bangsa Indonesia merombak perikehidupan bangsa Indonesia . Bangsa kita hidup dari penjajahan kolonial Belanda, sekarang menjadi bangsa yang merdeka, berdiri sendiri bertanggung jawab dan berumah tangga sendiri.
Setelah pengumuman kemerdekaan RI masih ada tantangan dari penjajah Jepang dan kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Melalui pertempuran di Surabaya dengan sekutu, NICA_Belanda ingin membonceng tentara sekutu Inggris. Perang kemerdekaan RI, kegiatan yang bersifat nasional, regional, ataupun lokal, tetapi tujuannya tetap satu demi tegaknya kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
 Di saat memuncak Gelora Revolusi, maka pada tanggal 23 November sampai dengan 25 November 1945 dibukalah Kongres PGRI pertama di Surakarta. Tempat pembukaannya adalah di Gedung Sana Harsana (Pasar Pon) dan tempat kongresnya di Gedung Van Deventer School, sekarang ditempati SMP Negeri 3 Surakarta. Pada waktu kongres mendapat sambutan miltraliyur Belanda dari kapal udara yang mengadakan operasi militernya dengan sasaran gedung RRI Surakarta. Organisasi PGRI yang baru lahir itu bersifat : 1) unitaristis, 2) independen, 3)non partai politik serta keanggotaannya tanpa pandang perbedaan ijasah, status, tempat kerja, jenis kelamin, dan keyakinan agama dan lain sebagainya.
Kehadiran PGRI sebagi wadah dan sarana PGRI yang sedang berevolusi Kemerdekaan, merupakan manifestasi akan keinsyafan dan rasa tangggung jawab kaum guru Indonesia dalam memenuhi kewajiban akan pengabdiannya serta partisispasinya kepada perjuangan menegakkan untuk mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Guru-guru sadar kan tugasnya, bahwa pendidikan adalah sarana utama dalam pembangunan bangsa dan negara, mereka melaksanakan dwifunsi dalam baktinya yaitu : di garis belakang mendidik dan mengajar di sekolah-sekolah biasa, sekolah peralihan, sekolah pengungsian. Disampingnya kerja sama dengan para bapak/ibu mendirikan dapur umum dan mempersiapkan makanan tahan lama untuk para pejuang di garis depan. Kecuali itu mereka menjadi pemimpin /komandan barisan tentara : BKR, TKR, TRI/TNI, BARA, API, BBRI, Hizbullah, Sabilillah, Laskar Rakyat, LASWI, KRIS, PMIU dan para pejuang lainnya.
Jika kita meneliti dalam mukadimah AD/ART PGRI dan meneliti kehidupannya organisasi, sejak kelahirannya sampai sekarang dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.  PGRI lahir karena hikamah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17Agustus 1945, merupakan manifestasi aspirasi kaum guru Indonesia, untuk mengambil bagian dan bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesinya sebagai pendidik bangsa demi tercapainya cita-cita kemerdekan.
b.     PGRI mempunyai commited kepada NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
c.     PGRI berbatang tubuh suatu organisasi berlandaskan proklamasi. Suatu organisasi pemersatu kaum guru bersifat : 1) unitaristis, 2) independen, 3) non partai politik. Juga merupakan sarana, wahana, usaha kepentingan kaum guru, bagi pengembangan profesinya, pendidikan pada umumnya serta pengembanagan kepada tanah air dan bangsa.
d.    PGRI adalah suatu organisasi profesi guru yang lahir dan mewariskan jiwa, semanagat, dan nilai-nilai 1945 secara teru-menerus kepada setiap generasi bangsa Indonesia.
Susunan pengurus Besar PGRI hasil Kongres I 25 November 1945
PGRI merupoakan usul persembahan dari rekan-rekan yang tergabung dalam organisasi Persatuan Guru Seluruh Priangan (PGSP), delegasinya Sdr. A. Zahri (almarhum sekjen PB-PGRI). Susunan PB PGRI hasil Kongres I ialah
1.      Ketua I : Amin Singgih
2.      Ketua II : Rh. KOesnan
3.      Ketua III : Soemitro
4.      Penulis I : Djajeng Soegianto
5.      Penulis II : Ali Marsaban
6.      Bendahara I : Soemidi Adisasmito
7.      Bendahara II : Marto Soedigdo
8.      Anggota : Siti Wahyunah
9.      Anggota : Siswo Widjojo
10.  Anggota : Parmoedjo
11.  Anggota : Siswowardjojo
            Beberapa bulan kemudian terjadilah pengunduran diri ketua I, karena ia diangkat menjadi Bupati Pamongpraja Mangkunegaraan Surakarta sehingga terpaksa diadakan susunan Pengurus Besar PGRI, formasinya :
1.      Ketua I : : Rh. Koesnan
2.      Penulis I : Sastrosoemarto
3.      Penulis II : Kadjat Martosoebroto
4.      Bendahara I : Soemidi Adisasmito
5.      Bendahara II : Marto Soedigdo
6.      Anggota : Djajeng Soegianto
7.      Anggota : Siswo Widjojo
8.      Anggota : BAroja
9.      Anggota : Siswowardjojo
10.  Anggota : Ny. Noerhalmi
11.  Anggota : Soespandi Atmowirogo
(PGRI Dari Masa Ke Masa 1989 : 42-44)
        ·            Perjuangan Organisasi PGRI
        i.            Partsipasi PGRI dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
      ii.            Peranserta PGRI dalam Mewujudkan Pendidikan Nasional

PGRI Pelopor dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Sebagai organisasi yang cita-cita perjuangannya sejajar dengan cita-cita bangsa Indonesia maka tantangan dan hambatan PGRI seirama dengan arus perjuangan bangsa Indonesia saat ini. Setelah Kongres 1 PGRI mulai menyusun dan mengembangkan organisasinya ke seluruh pelosok tanah air.
Adapun tuntutan kongres terhadap pemerintah antara lain :
1.      Sistem pendidikan agar dilakukan atas dasar kepentingan Nasional.
2.      Gaji guru tidak terbatas satu kolom.
3.      Diadakannya Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Undang-Undang Pokok Perburuhan.
Keputusan Kongres PGRI II adalah wujud dari tanggung jawab nasional PGRI dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan kolonial ke arah sistem pendidikan nadional.
Kongres III menegaskan garis perjuangan PGRI yang secara jelas dcantumkan dalam asas dan tujuan PGRI serta menjadi identitasnya . Garis perjuangan tersebut merupakan haluan bagi PGRI dan menjadi pedoman bagi organisai serta anggotanya dalam mewujudkan cita-cita. Sikap dan pola pikir , jiwa, dan semangat bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut, memperjuangkan, dan mengisi kemerdekaan melalui berbagai forum organisasi PGRI dirumuskan kemudian diputuska menjadi ”Jati Diri PGRI”.
Jati Diri PGRI menjadi identitas dan kepribadian organisasi PGRI diwujudkan dalam sikap perilaku anggotanya antara lain :
1.      Sikap nasionalisme
2.      Persatuan dan Kesatuan
3.      Demokrasi
4.      Kekeluargaan
5.      Disiplin
6.      Tak kenal menyerah
Nama PGRI mulai dikenal di luar negeri terbukti hubungan NEA (National Education Accociation) mengundang PGRI untuk meninjau pendidikan di USA selama 8 bulan. WCOTP mengundang PGRI untuk mengikuti Kongres WCOTP di London ( juni 1948 ).
PGRI sebagai Pelopor Mengubah Sistem Pendidikan Kolonial menjadi Sistem Pendidikan Nasional
Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan Oktober 1946 Kementrian Pengajaran tidak bernahkoda. Perjuangan PGRI menjadikan berlakunya Pendidikan Nasional terus berlangsung.Melalui pemikiran tokoh-tokoh PGRI dalam pertemuan dengan pemerintah antara lain : H.Basyuni Suryamiharja, Drs.Gazali Dunia, Prof.Dr.Winarno Surahmat, Dra. Mien,Warmaen, Ki Suratman, Dr.Anwar Yasin.M.Ed.
Dalam Kongres PGRI XIV,lahirlah Keputusan Nomor 001/KPTS/XIV/1978 tentang usaha meningkatkan satu sistem pendidikan nasional yang mantap dan terpadu.
Akhirnya melalui perjuangan panjang pada tahun 1989 Pemerintah dengan persetujuan DPR RI menetapkan Undang-Undang Ri Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mulai diundangkan pada tanggal 27 Maret 1989.
Perjuangan PGRI dalam Mempersatukan Guru Republik Indonesia
PGRI PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
  1. Lahirnya PGRI Non-Vaksentral/PKI
              Periode tahun 1962-1965 terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dari periode-periode sebelumnya. Pada bulan-bulan pertama PGRI mengalami kesulitan besar terutama karena kekurangan dana. Meskipun demikian, kegiatan PGRI tetap berjalan dalam upaya memperjuangkan nasib para guru. Masalah dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN ke dalam SOKSI yang diputuskan dengan 12 suara pro lawan 2 suara kontra pada hakekatnya tidak mengubah kekompakan dilingkungan PB PGRI.
       Suasana tegang benar-benar terasa setelah PB PGRI ikut serta dalam Musyawarah Penegasan Pancasila sebgai Dasar Pendidikan Nasional. Setelah PGRI ikut serta dalamMusyawarah Penegasan Pancasila tersebut, Moejono dan Ichwani mengajukan nota pengunduran diri.
                       
        Kemudian kelompok soebandri-Moejono-Ichwani menyelenggarakan rapat, karena bila terlambat mereka tidak bisa lagi mempergunakan dalih Non-Vaksentral sebagai sejata propaganda mereka. Selain melalui PGRI penyusupan mereka dilakukan pula terhadap aparatur pendidikan, terutama di lingkungan departemen P & K.

2. Pemecatan Massal Pejabat Departemen PP & K (1964)
           Sistem pendidikan Pancawardhana (pidato inaugurasi Dr. Busono Wiwoho) dilandasi dengan prinsip-prinsip: perkembangan cinta bangsa dan tanah air, perkembangan kecerdasan, perkembangan emosional-artistik, perkembangan keprigelan/kerajinan tangan, dan perkembangan jasmani.
       
        Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik. Keputusan Presiden tanggal 4 agustus 1964 yang diambil atas usul Menteri P & K tentang Reorganisasi Departemen P & K yang mengubah jumlah Pembantu Menteri P & K dari 3 menjadi 2 orang. Maka sebanyak 28 pegawai tinggi Departemen P & K mengirim surat kepada Menteri Prijono dengan maksud untuk menjernihkan kebali suasana P & K. Surat itu ditanggapi dengan memberhentikan ke-27 pejabat tersebut dengan alasan “atas dasar permintaan sendiri”. Berbagai ormas dan beberapa wakil dari Dinas P & K memprotes keras pemberhentian tersebut.

3. PGRI Pasca Peristiwa G30S/PKI
            Bagi PGRI, periode tahun 1966-1972 merupakan masa perjuangan untuk turut menegakkan Orde Baru, masa konsolidasi dan penataan kembali organisasi serta masa meneruskan dan menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola pembangunan nasional yang baru. Kegiatan dan perjuangan PGRI dalam bidang pendidikan semenjak Kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung mulai dibina kembali. Identitas PGRI sendiri bersifat unitaristik, independen, dan non-partai politik. Mengenai kedudukan PGRI sendiri sejak Kongres VII ditegaskan bahwa PGRI adalah organisasi non-vaksentral
            Perjalanan PGRI dipengaruhi oleh berbagai kepentingan golongan politik dari luar. Dalam setiap kongres, terutama saat pemilihan pimpinan PB PGRI, banyak partai politik ikut campur. Hal ini memang tidak dapat dihindarkan dan sangat menyulitkan kedudukan PGRI.
4. Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI
            Setelah PKI yang diwakili oleh guru-guru berorientasi ideologi komunis tak mampu lagi mealkukan taktik – taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan diri dari PGRI. Mereka kemudian menyebut dirinya PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV).
            Pergolakan hebat yang ditimbulkan oleh munculnya PGRI NV terasa benar didaerah. Untuk menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan dikalangan guru, Presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk Majelis Pendidikan Nasional yang menerbitkan Penpres (Penetapan Presiden) No. 19 tahun 1965 tentang Pokok – pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila sebagai hasil kerja dari Panitia Negara untuk Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana. Tetapi bagi PGRI penpres tersebut tidak berhasil mempersatukan kembali organisasi ini.
  1. PGRI SEJAK LAHIRNYA ORDE BARU
Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)          
            Peristiwa G30S/PKI merupakan puncak dari apa yang sebelumnya berlangsung ditubuh PGRI. Pada tanggal 2 Februari 1966 para guru membentuk KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia). Bagi PGRI-Kongres, KAGI merupakan wahana untuk menyatukan semua organisasi guru yang tadinya terkotak-kotak sebagai produk politik Orde Lama.
            Tugas utama KAGI adalah membersihkan dunia pendidikan dari unsure-unsur PKI dan orde lama, menyatukan semua guru dalam satu wadah organisasi guru yaitu PGRI, memperjuangkan agar PGRI tidak hanya bersifat unitaristik tetapi juga independen dan non-partai politik.
            Bukti keberhasilan Orde Baru dalam kongres ini terlihat dari hasil-hasil kongres idbidang umum/politik dan susuna PB PGRI Masa Bakti XI.
5. Konsolidasi Organisasi pada Awal Orde Baru
            Konsolidasi organisasi PGRI dilakukan ke daerah-daerah dan cabang-cabang. Kunjungan-kunjungan PB PGRI secara intensif ke Jawa Tengah dan Jawa TImur mutlak diperlukan. Pembetukan KAGI di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara lain untuk menyelamatkan PGRI dari kemelut politik diwaktu itu.
            Hubungan antara PGRI dengan organisasi guru diluar negeri mulai dirintis kembali.
6. Arti Lambang PGRI
            Kongres XIII PGRI tahun 1973 menetapkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam bidang organisasi, yaitu berubahnya sifat PGRI dari organisasi serikat pekerja menjadi organisasi profesi guru; ditetapkannya kode etik guru di Indonesia; perubahan lambag dan panji organisasi PGRI yang sesuai dengan organisasi profesi guru; dan adanya Dewan Pembina PGRI.
            Arti keseluruhan daripada lambang PGRI adalah: Guru Indonesia dengan itikad dan kesadaran pengabdian yang murni dengan segala keberanian, keluhuran jiwa dan kasih sayang senantiasa menunaikan darma baktinya kepada Negara, tanah air dan bangsa Indonesia dalam mendidik budi pekerti, cipta, rasa, karsa dan karya generasi bangsa menjadi manusia Pancasila yang memiliki moral, pengetahuan, ketrampilan dan akhlak yang tinggi.
7. Berdirinya YPLP-PGRI dan Wisma Guru
            Kongres XIV PGRI tanggal 26-30 Juni 1979 di Jakarta menghasilkan salah satu keputusan penting yaitu mengenai pendirian Wisma Guru. Dan dalam kongres tersebut juga diputuskan dan ditegaskan bahwa pembinaan lembaga pendidikan PGRI perlu dilakukan secara konsepsional, nasional dan terkendali secara organisatoris.
            Untuk melaksanakan keputusan kongres, PB PGRI membentuk YPLP-PGRI dengan notaris Akta Moh. Ali No. 21 tanggal 31 Maret 1980 yang berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1980. Pada tahap awal pelaksanaan tugasnya, YPLP-PGRI megadakan inventarisasi terhadap lembaga pendidikan PGRI.
REFLEKSI TENTANG MASA DEPAN PGRI
            Banyak kemungkinan arah PGRI 30 tahun mendatang, salah satu kemungkinannya adalah dengan menggunakan beberapa kategori pendekatan.
  1. Kategori fundamental, yaitu sebagai organisasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan GBHNnya.
  2. Kategori teknis. Salah satu diantaranya adalah dengan mengembangkan dan mendorong proses-proses perubahan yang sistematis dalam tubuh PGRI
  3. Kategori terapan.
            Berdasarkan pengamatan bertahun-tahun, tampak jelas bahwa PGRI seperti halnya organisasi yang lainnya mempunyai pengalaman yang penting dalam rangka menyukseskan strategi yang bersifat kuantitatif. Dalam rangka melaksanakan strategi kualitatif, PGRI perlu mengadakan investasi secara bekelanjutan. Ini juga berarti kode etik guru Indonesia tidak hanya diucapkan, tetapi juga berkembang dalam sikap, pola tindakan dan prestasi para anggota PGRI yang makin professional.
Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia
SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja SeluruhIndonesia).

            Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh.

            Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun

Serikat Buruh Sebagai Pilar Demokrasi
Kehadiran UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, meski masih ada kelemahan, patut kita berikan apresiasi. Paling tidak, UU ini menjamin secara hukum untuk bisa mendirikan serikat buruh baru di samping yang sudah ada. Dengan kata lain, UU No 21/2000 mengakhiri monopoli serikat buruh yang berlangsung sejak orde baru (Orba) berkuasa.
Sejarah
            Bangsa ini memiliki sejarah panjang mengenai keberadaan dan perjuangan serikat buruh. Bahkan jauh sebelum kita merdeka tahun 1945. Serikat buruh berkembang seiring maraknya pembukaan perkebunan di Nusantara. Terutama sejak kebijakan tanam paksa diberlakukan (1830-1870). Awalnya, pembentukan serikat buruh didasari bentuk ketidakpuasan buruh terhadap sistem kerja yang diberlakukan ketika itu. Wujudnya adalah melakukan demonstrasi. Karena tidak diorganisir dengan baik, bersifat sporadis, aksi buruh saat itu lebih banyak mengalami kekalahan.
            Lalu, serikat buruh mulai dirintis. Serikat buruh di awal abad ke-20 yang cukup menonjol peranannya adalah Vereeniging von Spoor en Tramweg/VSTP tahun 1908 dan Personeel Fabriek Bond/PFB (1917). Meski VSTP dilahirkan oleh orang kulit putih (Eropa), anggota mereka justru didominasi oleh kaum pribumi. Bahkan salah seorang pimpinannya, Semaun, menjadi salah satu tokoh penting nasional ketika Indonesia merdeka nantinya. Tercatat, sampai tahun 1923, ada 13.000 orang yang terdaftar sebagai anggota VSTP (Edy Cahyono: Gerakan Serikat Buruh dari Masa ke Masa: Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru)
            Periode 1950-1960 merupakan masa emas gerakan serikat buruh di Indonesia. Sedikitnya, ada dua serikat buruh yang berpengaruh di masa itu. Pertama, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berdiri tahun 1946. Organisasi ini merupakan serikat buruh terkuat di zamannya dengan jumlah anggota 2,5 juta orang. Kedua, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI), berdiri tahun 1947. Kedua serikat buruh ini menjadi kekuatan politik nasional selain partai politik (parpol) seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Masyumi.
                        Soeharto pun berkuasa. Ia segera melakukan konsolidasi politik dan ekonomi. Dengan tangan besi ia menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Termasuk SOBSI dan SARBUPRI. Dan sebagai gantinya, di tahun 1973, dibentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang diketuai Agus Sudono. Dan berubah menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), di tahun 1985. Sejak ini-lah gerakan serikat buruh menjadi mandul. SPSI tidak berfungsi sebagai serikat buruh yang sesungguhnya karena ia justru digunakan untuk meredam perlawanan buruh.
Kebangkitan
            Meskipun tindakan represif Orba cukup ampuh meredam buruh, bukan berarti tidak ada usaha perlawanan buruh sekecil apapun. Di periode 1990-an, dengan aksi beraninya, segelintir aktivis buruh mendirikan serikat buruh selain SPSI. Maka muncul-lah Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBMSK), dan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia/PPBI (Edy Cahyono: Idem). Dan kini, sejak UU No 21/2000 disahkan, berdasarkan data Depnakertrans 2009, ada 91 federasi serikat buruh dengan jumlah anggota 3.338.597 orang. Serta tiga konfederasi serikat buruh: KSPSI, KSPI, dan KSBSI.
            Tapi, meningkatnya kuantitas serikat buruh belum sejalan dengan kualitas perjuangan mereka. Kebanyakan serikat buruh saat ini berdiri bukan karena latar belakang ideologi. Perbedaan kepentingan dan asas manfaat lebih banyak menghinggapi serikat buruh. Polarisasi ini mengakibatkan belum ada hasil perjuangan signifikan serikat buruh. Penolakan besar-besaran memang terjadi saat pemerintah mengesahkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tapi hasilnya belum mengubah secara keseluruhan undang-undang tersebut. Hanya pasal 158 saja yang bisa “dilumpuhkan” melalui keputusan MK Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 24 Oktober 2004.
Gerakan serikat buruh masih parsial. Padahal, serikat buruh harusnya berjuang secara holistik. Artinya, ia tidak hanya berjuang sebatas memenuhi hak-hak normatif saja. Tapi harus menjadi kekuatan politik yang dapat memengaruhi kebijakan politik, terkhususnya yang berkaitan langsung dengan sistem ketenagakerjaan. Oleh karena itu, ada beberapa hal, yang mungkin, dapat diperhatikan untuk menuju serikat buruh yang ideal.
Pertama, kaderisasi. Tak bisa dipungkiri, kekuatan SOBSI dan SARBUPRI adalah karena berjalannya sistem kaderisasi dengan baik. Pola perekrutan dilakukan secara intensif. Lalu mereka dipecah dengan sistem sel. Penguatan kapasitias pun dilakukan dengan melakukan diskusi.
                        Kedua, penguatan jaringan. Ketika kondisi internal sudah kokoh, langkah selanjutnya adalah pelebaran jaringan. Serikat buruh tidak bisa berjuang sendiri tanpa melakukan konsolidasi dengan kekuatan politik lainnya. Jaringan dibangun tidak sebatas pada serikat buruh yang lain, tapi juga melebar kepada parpol, pers, NGO dan jaringan internasional. Tujuan berjejaring adalah untuk memperluas ide dan nilai-nilai serikat buruh. Selain itu juga untuk menghasilkan satu kekuatan politik (aliansi) yang kokoh.
            Ketiga, melakukan aksi. Ketika instrumen internal dan eksternal organisasi sudah mumpuni, maka serikat buruh harus melakukan aksinya. Aksi di sini tidak hanya diartikan berupa demonstrasi turun ke jalan (turjal). Ia bisa dimaknai secara luas. Selain demonstrasi, melakukan kampanye dan aksi tulisan juga bagian penting yang tidak bisa dilepaskan serikat buruh. Kampanye bisa memuat gambaran kondisi perburuhan yang sedang berlangsung. Sedangkan aksi menulis adalah cara lain untuk mengekspresikan kegelisahan serikat buruh. Dengan tulisan, maka banyak pihak di luar serikat buruh yang menjadi tahu keadaan buruh. Media tulisan berupa opini di media massa, buku/tabloid, spanduk, poster. Terkadang, menuangkan ide dalam bentuk tulisan bisa lebih ampuh. Seorang Pramoedya Ananta Toer ditakuti Orba karena tulisan Tetraloginya dianggap dapat memobilisasi kebangkitan komunis.
            Perjuangan serikat buruh masih panjang. Harus kita akui, serikat buruh masih kalah satu-dua langkah dari kekuatan kapital. Jangankan menjadi salah satu kekuatan politik, sekedar memenuhi hak-hak normatif saja, masih terasa sulit dilakukan. Tapi, ini bisa berubah kalau serikat buruh tidak lagi terjebak pada ego-sentrisme.





























DAFTAR PUSTAKA

Kartono. 2002. Menebus Pendidikan yang Tergadai. Yogyakarta: Kanisus

Musaheri. 2009. Ke-PGRI-an. Sumenep: DIVA Press

Muyasa. 2006. Managemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT RemajaRosdakarya

Suryasubroto. 1997. Proses Belajat Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta










Tidak ada komentar:

Posting Komentar